MAKALAH
A“ QADARIYH “
PENYUSUN :
4. ZULFA ZULFI Z ( 32)
MAN 2 KOTA KEDIRI
Jalan Sunan Ampel – Nronggo – Kota Kediri, Kode Pos 64127
Telepon (0354) 672248 Fax (0354) 672248 e-mail : man_2kdr@yahoo.com
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusunan tugas ini dapat diselesaikan.
Tugas ini disusun untuk diajukan sebagai tugas mata pelajaran aqidah akhlak dengan judul “qadariyah” .
Terima kasih disampaikan kepada Ibu. Badi’ah selaku guru pembimbing mata pelajaran aqidah akhlak demi lancarnya tugas ini.
Demikianlah tugas ini disusun semoga bermanfaat, agar dapat memenuhi tugas mata pelajaran aqidah akhlak
Penyusun
DAFTAR ISI
LAMPIRAN………………………………………………………………………………………. 1
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………….. 2
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 DEFINISI DAN RUANG LINGKUP…………………………………. 3
1.2 TUJUAN PERMASALAHAN…………………………………………… 3
1.3 MEMAHAMI PERSOALAN…………………………………………….. 3
BAB II. PEMBAHASAN
2.1 ASAL-USUL KEMUNCULAN QADARIYAH…………………. 5
2.2 DOKTRIN-DOKTRIN QADARIYAH……………………………….. 7
2.3 FIRQAH QADARIYAH…………………………………………………….. 9
2.4 SEBAB-SEBAB MUNCULNYA QADARIYAH………………… 10
2.5 DASAR AJARAN QADARIYAH……………………………………… 11
BAB III. PENUTUP
3.1 KESIMPULAN………………………………………………………………….. 15
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………… 16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 DEFINISI DAN RUANG LINGKUP
Qadariyah berasal dari bahasa arab, yaitu dari bahasa qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian termonologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh tuhanberdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia harus tunduk pada qadar tuhan.
1.2 TUJUAN
Tujuan qadariyah :
1. manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya.
2. memberikan pengetahuan tentang islam.
3. agar tidak mengingkari ilmu Allah SWT.
4. agar mempercayai takdir Allah SWT.
1.3 MEMAHAMI PERSOALAN
Memahami persoalan Qadariyah yang menjadi salah satu pokok bahasan utama dalam sejarah teologi Islam, dapat dilihat dari dua sisi pandang, yang pertama adalah sosiologis masyarakat Arab dan kedua yaitu apa yang kita sebut dengan institusi atau aliran pemahaman
A. Sosiologis masyarakat Arab
Kondisi sosiologis masyarakat Arab, dengan suasana teriknya panas dan tanah berupa padang pasir tandus, menjadikan mereka tidak banyak menemukan cara untuk merubah hidup ke arah yang lebih baik. Hal inilah kemudian menggiring pemahaman jabary atau fatalism ke dalam paradigma berfikir mereka.
Disamping itu, kuatnya iman terhadap qudrat dan iradat Allah SWT, ditambah pula dengan sifat wahdaniyat-Nya juga mendorong kuatnya pola fikir tersebut.
B. Institusi atau aliran pemahaman
Pola fikir masyarakat Arab seperti tersebut di atas, menjadi sebuah aliran (institusi) setelah muncul orang (figur) yang menguatkan dan mengembangkan pemahaman tersebut. Tertulis dalam buku-buku sejarah, dua aliran yang saling bertentangan dalam hal pemikiran teologi yaitu Jabariyah dan Qadariyah.
Makalah ini akan membahas persoalan teologi kedua aliran tersebut, yaitu asal-usul, dasar ajaran dan perbandingan pemikiran teologi terkait dengan perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia, dengan lebih mengedepankan telaah institutif, dan tidak secara sosiologis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Asal – usul kemunculan qadariyah
Penamaan aliran Qadariyah didasarkan pada pandangan kelompok ini yang percaya akan tidak adanya intervensi Tuhan terhadap perbuatan manusia. Kata Qadara berasal dari bahasa Arab, artinya kemampuan, kekuatan, memutuskan. Dalam bahasa Inggris, sering disebut dengan istilah free will atau free act (kebebasan berkehendak dan kebebasan berbuat).
Arti Qadariyah secara terminologis adalah satu aliran yang percaya akan kebebasan manusia bertindak dan menentukan pilihan perbuatan tanpa peran Tuhan. Setiap manusia adalah pencipta bagi perbuatannya, dengan demikian, kita dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Manusia memiliki qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dapat memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Terdapat dua pendapat tentang penamaan aliran Qadariyah; pertama, pendapat yang menyandarkan kepada orang-orang yang berpendapat bahwa manusia adalah pencipta dan memiliki kekuatan mutlak terhadap apa yang akan diperbuatnya, tanpa intervensi apapun dari Tuhan. Dan kedua, adalah orang-orang yang berkeyakinan bahwa qudrah manusia bukan pada penciptaan perbuatan tetapi pada pemilihan dan pelaksanaan perbuatan tersebut.
Secara pasti, tidak dapat diketahui kapan tepatnya aliran Qadariyah ini lahir dan hal ini masih menjadi perdebatan di kalangan ahli sejarah. Pendapat yang populer, mengatakan bahwa faham Qadariyah pertama kali dimunculkan pada akhir masa Sahabat sekitar tahun 70 H/689 M, oleh Ma’bad al-Juhani (w. 80 H/699 M) dan Ghailan ad-Dimasyqi (w. 105 H/722 M).
Ma’bad al-Juhani adalah seorang Taba’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru dengan Hasan al-Basri. Sedangkan Ghailan ad-Dimasyqi adalah seorang orator berasal dari Damaskus. Faham Qadariyah diduga berasal dari orang Irak bernama Susan. Susan adalah penganut filsafat Nasrani Sekte Nestorian yang mendirikan sekolah filsafat di Gundisapur, dan berdekatan dengan Basrah. Sekte Nestorian ini mengadopsi filsafat Yunani aliran Epikureanisme (Abiquriyyun), dengan konsepnya : Dikarenakan perbuatan-perbuatan kita adalah bebas, dan kepada merekalah (perbuatan-perbuatan tersebut) dilekatkan pujian dan celaan. Shobarin Syakur, Sejarah Ilmu Kalam dan Pemahaman Qada dan Qadar yang beragama Kristen, kemudian memeluk agama Islam, dan kembali lagi ke Kristen. Dari Susan inilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham tersebut.
Pendapat lain, W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa faham Qadariyah terdapat dalam Kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700 M.
Dengan disebutkannya Ma’bad al-Juhani pernah berguru dengan Hasan al-Basri pada keterangan Adz-Dzahabi dalam kitab Mizan al-I’tidal, maka sangat mungkin faham Qadary mula-mula dikenalkan oleh Hasan al-Basri dalam bentuk kajian-kajian keIslaman, kemudian dicetuskan oleh Ma’bad al-Juhani dan Ghailan ad-Dimasyqi dalam bentuk aliran (institusi).
2.2 Doktrin-Doktrin Qadariyah
Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal , pembahasan masalah Qadariyah disatukan dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas. Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas di kupas oleh kalangan Mu’tazilah sebab faham ini juga menjadikan salah satu doktrin Mu’tazilah akibatnya, orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan tuhan.
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang doktrin Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Mansuia sendiri pula melakukan atau menjauhi perbuatan atau kemampuan dan dayanya sendiri. Salah seorang pemuka Qadariyah yang lain , An-Nazzam , mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai daya dan ia berkuasa atas segala perbuatannya.
Dari beberapa penjelasan diatas ,dapat di pahami bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Mansuia mempunyai kewenangan untuk melakun segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memproleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya.
Seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat,itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri ,bukan akhir Tuhan.Sungguh tidak pantas,manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.
Faham takdir dalam pandang Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum di pakai bangsa Arab ketika itu,yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah di tentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya,manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah di tentukan sejak azali terhadap dirinya.Dalam faham Qadariyah,takdir itu ketentuan Allah yang di ciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya,sejak azali,yaitu hukum yang dalam istilah Al-Quran adalah sunatullah.
Seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat,itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri ,bukan akhir Tuhan.Sungguh tidak pantas,manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.
Secara alamiah, sesungguhnya manusia telah mailiki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikuti hukum alam. Misalnya, manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip atau ikan yang mampu berenang dilautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan. Seperti gajah yang mampu mambawa barang beratus kilogram, akan tetapi manusia ditakdirkan mempunyai daya pikir yang kreatif, demikian pula anggota tubuh lainnya yang dapat berlatih sehingga dapat tampil membuat sesuatu ,dengan daya pikir yang kreatif dan anggota tubuh yang dapat dilatih terampil. Manusia dapat meniru apa yang dimiliki ikan. Sehingga ia juga dapat berenang di laut lepas.
Demikian juga manusia juga dapat membuat benda lain yang dapat membantunya membawa barang seberat barang yang dibawa gajah. Bahkan lebih dari itu, disinilah terlihat semakin besar wilayah kebebasan yang dimiliki manusia. Suatu hal yang benar-benar tidak sanggup diketahui adalah sejauh mana kebebasan yang dimiliki manusia ? siapa yang membatasi daya imajinasi manusia? Atau dengan pertanyaan lain, dimana batas akhir kreativitas manusia?
Dengan pemahaman seperti ini, kaum Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyadarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin islam sendiri. Banyak ayat Al-Qur’an yang mendukung pendapat ini,
2.3 FIRQAH QADARIYAH
Mereka adalah firqah yang mengingkari ilmu Allah terhadap perbuatan hamba-Nya sebelum terjadi dan mereka berkeyakinan bahwa Allah belum membuat ketentuan apapun pada makhluk-Nya. Mereka menyatakan bahwa tidak ada taqdir, semua perkara adalah Unuf .
Dan sebelum perkara terjadi Allah tidak menetukan dan tidak mengetahuinya, bahkan Allah baru mengetahuinya setelah terjadi. Dan mereka menyatakan bahwa Allah bukan pencipta perbuatan hamba dan tidak membuat ketentuan dan ketentuan takdir apa pun.
Mereka sangat mirip dengan kaum Majusi yang meyakini dua tuhan, tuhan cahaya dan tuhan kegelapan sehingga Rasulullah menegaskan bahwa Qadariyah adalah Majusi umat ini, berdasarkan hadits dari Abdullah bin Umar , beliau bersabda : “Qadariyah adalah Majusinya umat ini, jika mereka sakit janganlah kalian menjenguknya dan jika mereka mati janganlah kalian menyaksikan jenazahnya.
Imam Abu Tsaur ditanya tentang Qadariyah, maka beliau menjawab : “Dia adalah orang yang menyatakan bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan hamba-Nya, tidak menetukan dan tidak menciptakan perbuatan maksiat pada hamba.
Orang yang pertama kali menggulirkan paham Qadariyah adalah Ma’bad al-Juhani pada akhir masa generasi Shahabat, seperti yang dituturkan Imam Muslim dari Yahya bin Ya’mur, menerut satu riwayat, Ma;bad mengambil faham Qadariyah dari seorang laki-laki Nashrani bernama Susan kemudian pemikiran dan pemahaman itu disebabkan oleh Ghailan ad-Dimasqi, seperti yang dituturkan oleh al-Auza’i.
Kesesatan Qadariyah menimbulkan dua kebi’ahan dalam agama yang sangat besar :
Pertama : Pengingkaran mereka terhadap ilmu Allah yang telah mendahului setiap kejadian, padahal tidak ada suatu kejadian apapun di alam semesta kecuali pasti diketahui Allah.
Kedua : Keyakinan mereka bahwa hamba sendiri yang mempunyai kuasa penuh untuk mewujudkan perbuatan.
2.4 Sebab-sebab munculnya aliran Qadariah
Ada dua sebab utama yang dapat dikategorikan menjadi sebab munculnya faham dan aliran Qadariyah yaitu :
a. Masyarakat Arab yang cenderung fatalis, kehidupan yang serba sulit, faktor alam yang tidak mendukung untuk lepas dari faham tersebut. Agama Islam yang dianut oleh mereka justru menjadikan mereka bertambah dalam ke faham fatalis tersebut. Allah SWT telah menentukan nasib manusia terlebih dahulu, dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang ditentukan sejak azali. Ada Sunnatullah yang hadir dalam setiap detak dan detik denyut kehidupan semesta ini, dan manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan.
b. Secara politis, pemerintah yang berkuasa ketika itu, Bani Umayyah, menganut dan menekankan faham fatalis, serta menjadikannya legitimasi kekuasaan yang dipegang. Apa yang menjadi ketetapan penguasa adalah takdir Tuhan, sehingga siapapun yang menentang, maka sama saja dengan menentang ketentuan Tuhan. Hadirnya Qadariyah dianggap sebagai hambatan dan dukungan kepada kelompok yang kritis terhadap rezim. Faham Takdir yang dikembangkan Qadariyah sangat berbeda dengan keyakinan pemerintah.
Seiring perjalanan penyebaran faham ini, Ma’bad al-Juhani terlibat dalam gerakan politik menentang pemerintahan Umayyah. Beliau memihak kepada ‘Abdurrahman ibn al-Asy’as, Gubernur Sajistan wilayah kekuasann Bani Umayyah. Dan pada satu pertempuran, Ma’bad al-Juhani terbunuh pada tahun 80H.
Ghailan ad-Dimasyqi menjadi penerus aliran Qadariyah pasca terbunuhnya Ma’bad al-Juhani. Faham ini menyebar luas ke wilayah Damaskus, namun mendapat larangan dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Setelah Umar bin Abdul Aziz wafat, penyebaran faham ini dapat berlangsung lama, tapi Ghailan dihukum mati oleh Khalifah Hisyam bin Malik (724-743 M). Ada dialog singkat sebelum dia dibunuh :
“Manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri. Dan manusia sendiri yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri”
2.5 Dasar Ajaran
Faham Qadariyah, bukanlah faham yang semata-mata disandarkan kepada akal fikiran saja. Terbukti, mereka banyak menjadikan ayat-ayat al-Qur’an sebagai pijakan dan penafsiran faham mereka, antara lain :
a. QS. Al-Kahfi : 29
Artinya : Dan Katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”. Sesungguhnya kami Telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.
b. QS. Ali Imran : 165
165. Dan Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu Telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
c. QS. Ar-Ra’d : 11
11. Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
d. QS. An-Nisaa : 111
111. Barangsiapa yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
e. QS. Fussilat : 40
40. Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat kami, mereka tidak tersembunyi dari kami. Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik, ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari kiamat? perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
f. QS. As-Sajadah : 40
4. Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, Kemudian dia bersemayam di atas ‘Arsy[1188]. tidak ada bagi kamu selain dari padanya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa’at[1189]. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?
[1188] bersemayam di atas ‘Arsy ialah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dsan kesucian-Nya.
[1189] Syafa’at: usaha perantaraan dalam memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain atau mengelakkan sesuatu mudharat bagi orang lain. syafa’at yang tidak diterima di sisi Allah adalah syafa’at bagi orang-orang kafir.
Dari ayat-ayat di atas, faham tentang taqdir ini meluas dan berkembang. Dalam Kitab al-Milal wan Nihal, pembahasan masalah Qadariyah disatukan dengan pembahasan doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga perbedaan kedua aliran ini tidak begitu jelas. Ahmad Amin juga menjelaskna bahwa doktrin Qadar lebih luas dikupas oleh kalangan Mu’tazilah, sebab faham ini juga menjadikan salah satu doktrin Mu’tazilah. Akibatnya orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua lairan ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan. Dalam faham Qadariyah, Takdir difahami sebagai ketentuan Allah yang diciptakannya bagi alam semesta beserta seluruh isinya sejak azali, yaitu hukum alam yang dalam isltilah al-Qur’an disebut Sunnatullah. Seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat. Dan seseorang akan diberi ganjaran siksa di neraka. Semua ini atas pilihan sadar manusia sendiri, bukan pilihan akhir Tuhan. Tidaklah pantas manusia menerima siksaan atas tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.
Kemudian, dengan potensi yang diberikan Tuhan, manusia dapat mengembangkan sunnatullah yang ada. Contoh; manusia yang ditakdirkan tidak dapat mengangkat beban seperti kekuatan gajah. Tapi potensi yang ada, manusia dapat berfikir mengangkat dengan menggunakan alat. Kreatifitas inilah yang menjadi keyakinan aliran ini. Hanya saja faham ini masih menyisakan pertanyaan, sejauh mana kebebasan yang dimiliki manusia? Siapa yang membatasi daya imajinasi manusia? Dimana batas akhir kreatifitas manusia?
Dilihat dari pendapat di atas, Qadariyah yang ada, lebih cenderung kepada pendapat yang mengatakan bahwa aliran Qadariyah disandarkan kepada orang-orang yang meyakini adanya sunnatullah sebagai alternative-alternatif pilihan yang diciptakan Tuhan dan manusia mempunyai kebebasan untuk memilih dan menentukan perbuatan tersebut.
Berbeda dengan apa yang penulis baca pada makalah Zainal Abidin Syamsuddin, Lc. Beliau mengutip Hadits dari Abdullah ibn Umar : Nabi SAW bersabda : Qadariyah adalah majusinya umat ini, jika mereka sakit janganlah kalian menjenguknya dan jika mereka mati janganlah kalian menyaksikan jenazahnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konsep Pemikiran Qadariyah tentang Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia
Tuhan adalah pencipta alternative atau pilihan takdir. Alternatif ketentuan Allah yang diciptakan bagi alam semesta beserta seluruh isinya sejak azali, yaitu hukum alam yang dalam istilah al-Qur’an disebut Sunnatullah.
Manusia menjadi penentu akhir perbuatan yang akan dilakukannya, karena memiliki kekuatan dan kemampuan untuk memilih yang baik atau yang buruk tanpa intervensi Tuhan.
Seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat. Dan seseorang akan diberi ganjaran siksa di neraka. Semua ini atas pilihan sadar manusia sendiri, bukan pilihan akhir Tuhan. Tidaklah pantas manusia menerima siksaan atas tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Siradjudin, I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1971.
Al-Mishri, Muhammad Abdul Hadi, Manhaj dan Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, Menurut Pemahaman Ulama Salaf, Jakarta: Gema Insani Press, 1992.
Mu’in, M. Taib Abdul, Ilmu Kalam, Jakarta: Widjaya, 1997.
Nasir, Sahilun A., Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: Rajawali Press, 1991.
Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 2002.
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, sejarah analisa perbandingan,
LINK :
www.ahmad-mubarok.blogspot.com/2008/09/ilmu-kalam.html
http://ibnuramadan.wordpress.com/category/qadariyah/
http://peziarah.wordpress.com/2007/03/07/jabariyah-dan-qadariyah/
http://www.scribd.com/doc/22264560/Qadariyah-Jabariyah
http://artikelthoyib.blogspot.com/2010/01/qadariyah.html
. ZULFA ZULFI Z ( 32 )
MAN 2 KOTA KEDIRI
Jalan Sunan Ampel – Nronggo – Kota Kediri, Kode Pos 64127
Telepon (0354) 672248 Fax (0354) 672248 e-mail : man_2kdr@yahoo.com
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusunan tugas ini dapat diselesaikan.
Tugas ini disusun untuk diajukan sebagai tugas mata pelajaran aqidah akhlak dengan judul “qadariyah” .
Terima kasih disampaikan kepada Ibu. Badi’ah selaku guru pembimbing mata pelajaran aqidah akhlak demi lancarnya tugas ini.
Demikianlah tugas ini disusun semoga bermanfaat, agar dapat memenuhi tugas mata pelajaran aqidah akhlak
Penyusun
DAFTAR ISI
LAMPIRAN 1
KATA PENGANTAR 2
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 DEFINISI DAN RUANG LINGKUP 3
1.2 TUJUAN PERMASALAHAN 3
1.3 MEMAHAMI PERSOALAN 3
BAB II. PEMBAHASAN
2.1 ASAL-USUL KEMUNCULAN QADARIYAH 5
2.2 DOKTRIN-DOKTRIN QADARIYAH 7
2.3 FIRQAH QADARIYAH 9
2.4 SEBAB-SEBAB MUNCULNYA QADARIYAH 10
2.5 DASAR AJARAN QADARIYAH 11
BAB III. PENUTUP
3.1 KESIMPULAN 15
DAFTAR PUSTAKA 16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 DEFINISI DAN RUANG LINGKUP
Qadariyah berasal dari bahasa arab, yaitu dari bahasa qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian termonologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh tuhanberdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia harus tunduk pada qadar tuhan.
1.2 TUJUAN
Tujuan qadariyah :
1. manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya.
2. memberikan pengetahuan tentang islam.
3. agar tidak mengingkari ilmu Allah SWT.
4. agar mempercayai takdir Allah SWT.
1.3 MEMAHAMI PERSOALAN
Memahami persoalan Qadariyah yang menjadi salah satu pokok bahasan utama dalam sejarah teologi Islam, dapat dilihat dari dua sisi pandang, yang pertama adalah sosiologis masyarakat Arab dan kedua yaitu apa yang kita sebut dengan institusi atau aliran pemahaman
A. Sosiologis masyarakat Arab
Kondisi sosiologis masyarakat Arab, dengan suasana teriknya panas dan tanah berupa padang pasir tandus, menjadikan mereka tidak banyak menemukan cara untuk merubah hidup ke arah yang lebih baik. Hal inilah kemudian menggiring pemahaman jabary atau fatalism ke dalam paradigma berfikir mereka.
Disamping itu, kuatnya iman terhadap qudrat dan iradat Allah SWT, ditambah pula dengan sifat wahdaniyat-Nya juga mendorong kuatnya pola fikir tersebut.
B. Institusi atau aliran pemahaman
Pola fikir masyarakat Arab seperti tersebut di atas, menjadi sebuah aliran (institusi) setelah muncul orang (figur) yang menguatkan dan mengembangkan pemahaman tersebut. Tertulis dalam buku-buku sejarah, dua aliran yang saling bertentangan dalam hal pemikiran teologi yaitu Jabariyah dan Qadariyah.
Makalah ini akan membahas persoalan teologi kedua aliran tersebut, yaitu asal-usul, dasar ajaran dan perbandingan pemikiran teologi terkait dengan perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia, dengan lebih mengedepankan telaah institutif, dan tidak secara sosiologis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Asal – usul kemunculan qadariyah
Penamaan aliran Qadariyah didasarkan pada pandangan kelompok ini yang percaya akan tidak adanya intervensi Tuhan terhadap perbuatan manusia. Kata Qadara berasal dari bahasa Arab, artinya kemampuan, kekuatan, memutuskan. Dalam bahasa Inggris, sering disebut dengan istilah free will atau free act (kebebasan berkehendak dan kebebasan berbuat).
Arti Qadariyah secara terminologis adalah satu aliran yang percaya akan kebebasan manusia bertindak dan menentukan pilihan perbuatan tanpa peran Tuhan. Setiap manusia adalah pencipta bagi perbuatannya, dengan demikian, kita dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Manusia memiliki qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dapat memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Terdapat dua pendapat tentang penamaan aliran Qadariyah; pertama, pendapat yang menyandarkan kepada orang-orang yang berpendapat bahwa manusia adalah pencipta dan memiliki kekuatan mutlak terhadap apa yang akan diperbuatnya, tanpa intervensi apapun dari Tuhan. Dan kedua, adalah orang-orang yang berkeyakinan bahwa qudrah manusia bukan pada penciptaan perbuatan tetapi pada pemilihan dan pelaksanaan perbuatan tersebut.
Secara pasti, tidak dapat diketahui kapan tepatnya aliran Qadariyah ini lahir dan hal ini masih menjadi perdebatan di kalangan ahli sejarah. Pendapat yang populer, mengatakan bahwa faham Qadariyah pertama kali dimunculkan pada akhir masa Sahabat sekitar tahun 70 H/689 M, oleh Ma’bad al-Juhani (w. 80 H/699 M) dan Ghailan ad-Dimasyqi (w. 105 H/722 M).
Ma’bad al-Juhani adalah seorang Taba’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru dengan Hasan al-Basri. Sedangkan Ghailan ad-Dimasyqi adalah seorang orator berasal dari Damaskus. Faham Qadariyah diduga berasal dari orang Irak bernama Susan. Susan adalah penganut filsafat Nasrani Sekte Nestorian yang mendirikan sekolah filsafat di Gundisapur, dan berdekatan dengan Basrah. Sekte Nestorian ini mengadopsi filsafat Yunani aliran Epikureanisme (Abiquriyyun), dengan konsepnya : Dikarenakan perbuatan-perbuatan kita adalah bebas, dan kepada merekalah (perbuatan-perbuatan tersebut) dilekatkan pujian dan celaan. Shobarin Syakur, Sejarah Ilmu Kalam dan Pemahaman Qada dan Qadar yang beragama Kristen, kemudian memeluk agama Islam, dan kembali lagi ke Kristen. Dari Susan inilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham tersebut.
Pendapat lain, W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa faham Qadariyah terdapat dalam Kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700 M.
Dengan disebutkannya Ma’bad al-Juhani pernah berguru dengan Hasan al-Basri pada keterangan Adz-Dzahabi dalam kitab Mizan al-I’tidal, maka sangat mungkin faham Qadary mula-mula dikenalkan oleh Hasan al-Basri dalam bentuk kajian-kajian keIslaman, kemudian dicetuskan oleh Ma’bad al-Juhani dan Ghailan ad-Dimasyqi dalam bentuk aliran (institusi).
2.2 Doktrin-Doktrin Qadariyah
Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal , pembahasan masalah Qadariyah disatukan dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas. Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas di kupas oleh kalangan Mu’tazilah sebab faham ini juga menjadikan salah satu doktrin Mu’tazilah akibatnya, orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan tuhan.
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang doktrin Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Mansuia sendiri pula melakukan atau menjauhi perbuatan atau kemampuan dan dayanya sendiri. Salah seorang pemuka Qadariyah yang lain , An-Nazzam , mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai daya dan ia berkuasa atas segala perbuatannya.
Dari beberapa penjelasan diatas ,dapat di pahami bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Mansuia mempunyai kewenangan untuk melakun segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memproleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya.
Seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat,itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri ,bukan akhir Tuhan.Sungguh tidak pantas,manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.
Faham takdir dalam pandang Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum di pakai bangsa Arab ketika itu,yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah di tentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya,manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah di tentukan sejak azali terhadap dirinya.Dalam faham Qadariyah,takdir itu ketentuan Allah yang di ciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya,sejak azali,yaitu hukum yang dalam istilah Al-Quran adalah sunatullah.
Seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat,itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri ,bukan akhir Tuhan.Sungguh tidak pantas,manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.
Secara alamiah, sesungguhnya manusia telah mailiki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikuti hukum alam. Misalnya, manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip atau ikan yang mampu berenang dilautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan. Seperti gajah yang mampu mambawa barang beratus kilogram, akan tetapi manusia ditakdirkan mempunyai daya pikir yang kreatif, demikian pula anggota tubuh lainnya yang dapat berlatih sehingga dapat tampil membuat sesuatu ,dengan daya pikir yang kreatif dan anggota tubuh yang dapat dilatih terampil. Manusia dapat meniru apa yang dimiliki ikan. Sehingga ia juga dapat berenang di laut lepas.
Demikian juga manusia juga dapat membuat benda lain yang dapat membantunya membawa barang seberat barang yang dibawa gajah. Bahkan lebih dari itu, disinilah terlihat semakin besar wilayah kebebasan yang dimiliki manusia. Suatu hal yang benar-benar tidak sanggup diketahui adalah sejauh mana kebebasan yang dimiliki manusia ? siapa yang membatasi daya imajinasi manusia? Atau dengan pertanyaan lain, dimana batas akhir kreativitas manusia?
Dengan pemahaman seperti ini, kaum Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyadarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin islam sendiri. Banyak ayat Al-Qur’an yang mendukung pendapat ini,
2.3 FIRQAH QADARIYAH
Mereka adalah firqah yang mengingkari ilmu Allah terhadap perbuatan hamba-Nya sebelum terjadi dan mereka berkeyakinan bahwa Allah belum membuat ketentuan apapun pada makhluk-Nya. Mereka menyatakan bahwa tidak ada taqdir, semua perkara adalah Unuf .
Dan sebelum perkara terjadi Allah tidak menetukan dan tidak mengetahuinya, bahkan Allah baru mengetahuinya setelah terjadi. Dan mereka menyatakan bahwa Allah bukan pencipta perbuatan hamba dan tidak membuat ketentuan dan ketentuan takdir apa pun.
Mereka sangat mirip dengan kaum Majusi yang meyakini dua tuhan, tuhan cahaya dan tuhan kegelapan sehingga Rasulullah menegaskan bahwa Qadariyah adalah Majusi umat ini, berdasarkan hadits dari Abdullah bin Umar , beliau bersabda : “Qadariyah adalah Majusinya umat ini, jika mereka sakit janganlah kalian menjenguknya dan jika mereka mati janganlah kalian menyaksikan jenazahnya.
Imam Abu Tsaur ditanya tentang Qadariyah, maka beliau menjawab : “Dia adalah orang yang menyatakan bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan hamba-Nya, tidak menetukan dan tidak menciptakan perbuatan maksiat pada hamba.
Orang yang pertama kali menggulirkan paham Qadariyah adalah Ma’bad al-Juhani pada akhir masa generasi Shahabat, seperti yang dituturkan Imam Muslim dari Yahya bin Ya’mur, menerut satu riwayat, Ma;bad mengambil faham Qadariyah dari seorang laki-laki Nashrani bernama Susan kemudian pemikiran dan pemahaman itu disebabkan oleh Ghailan ad-Dimasqi, seperti yang dituturkan oleh al-Auza’i.
Kesesatan Qadariyah menimbulkan dua kebi’ahan dalam agama yang sangat besar :
Pertama : Pengingkaran mereka terhadap ilmu Allah yang telah mendahului setiap kejadian, padahal tidak ada suatu kejadian apapun di alam semesta kecuali pasti diketahui Allah.
Kedua : Keyakinan mereka bahwa hamba sendiri yang mempunyai kuasa penuh untuk mewujudkan perbuatan.
2.4 Sebab-sebab munculnya aliran Qadariah
Ada dua sebab utama yang dapat dikategorikan menjadi sebab munculnya faham dan aliran Qadariyah yaitu :
a. Masyarakat Arab yang cenderung fatalis, kehidupan yang serba sulit, faktor alam yang tidak mendukung untuk lepas dari faham tersebut. Agama Islam yang dianut oleh mereka justru menjadikan mereka bertambah dalam ke faham fatalis tersebut. Allah SWT telah menentukan nasib manusia terlebih dahulu, dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang ditentukan sejak azali. Ada Sunnatullah yang hadir dalam setiap detak dan detik denyut kehidupan semesta ini, dan manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan.
b. Secara politis, pemerintah yang berkuasa ketika itu, Bani Umayyah, menganut dan menekankan faham fatalis, serta menjadikannya legitimasi kekuasaan yang dipegang. Apa yang menjadi ketetapan penguasa adalah takdir Tuhan, sehingga siapapun yang menentang, maka sama saja dengan menentang ketentuan Tuhan. Hadirnya Qadariyah dianggap sebagai hambatan dan dukungan kepada kelompok yang kritis terhadap rezim. Faham Takdir yang dikembangkan Qadariyah sangat berbeda dengan keyakinan pemerintah.
Seiring perjalanan penyebaran faham ini, Ma’bad al-Juhani terlibat dalam gerakan politik menentang pemerintahan Umayyah. Beliau memihak kepada ‘Abdurrahman ibn al-Asy’as, Gubernur Sajistan wilayah kekuasann Bani Umayyah. Dan pada satu pertempuran, Ma’bad al-Juhani terbunuh pada tahun 80H.
Ghailan ad-Dimasyqi menjadi penerus aliran Qadariyah pasca terbunuhnya Ma’bad al-Juhani. Faham ini menyebar luas ke wilayah Damaskus, namun mendapat larangan dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Setelah Umar bin Abdul Aziz wafat, penyebaran faham ini dapat berlangsung lama, tapi Ghailan dihukum mati oleh Khalifah Hisyam bin Malik (724-743 M). Ada dialog singkat sebelum dia dibunuh :
“Manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri. Dan manusia sendiri yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri”
2.5 Dasar Ajaran
Faham Qadariyah, bukanlah faham yang semata-mata disandarkan kepada akal fikiran saja. Terbukti, mereka banyak menjadikan ayat-ayat al-Qur’an sebagai pijakan dan penafsiran faham mereka, antara lain :
a. QS. Al-Kahfi : 29
•
Artinya : Dan Katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”. Sesungguhnya kami Telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.
b. QS. Ali Imran : 165
•
165. Dan Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu Telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
c. QS. Ar-Ra’d : 11
•
11. Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
d. QS. An-Nisaa : 111
111. Barangsiapa yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
e. QS. Fussilat : 40
• • •
40. Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat kami, mereka tidak tersembunyi dari kami. Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik, ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari kiamat? perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
f. QS. As-Sajadah : 40
4. Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, Kemudian dia bersemayam di atas ‘Arsy[1188]. tidak ada bagi kamu selain dari padanya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa’at[1189]. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?
[1188] bersemayam di atas ‘Arsy ialah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dsan kesucian-Nya.
[1189] Syafa’at: usaha perantaraan dalam memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain atau mengelakkan sesuatu mudharat bagi orang lain. syafa’at yang tidak diterima di sisi Allah adalah syafa’at bagi orang-orang kafir.
Dari ayat-ayat di atas, faham tentang taqdir ini meluas dan berkembang. Dalam Kitab al-Milal wan Nihal, pembahasan masalah Qadariyah disatukan dengan pembahasan doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga perbedaan kedua aliran ini tidak begitu jelas. Ahmad Amin juga menjelaskna bahwa doktrin Qadar lebih luas dikupas oleh kalangan Mu’tazilah, sebab faham ini juga menjadikan salah satu doktrin Mu’tazilah. Akibatnya orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua lairan ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan. Dalam faham Qadariyah, Takdir difahami sebagai ketentuan Allah yang diciptakannya bagi alam semesta beserta seluruh isinya sejak azali, yaitu hukum alam yang dalam isltilah al-Qur’an disebut Sunnatullah. Seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat. Dan seseorang akan diberi ganjaran siksa di neraka. Semua ini atas pilihan sadar manusia sendiri, bukan pilihan akhir Tuhan. Tidaklah pantas manusia menerima siksaan atas tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.
Kemudian, dengan potensi yang diberikan Tuhan, manusia dapat mengembangkan sunnatullah yang ada. Contoh; manusia yang ditakdirkan tidak dapat mengangkat beban seperti kekuatan gajah. Tapi potensi yang ada, manusia dapat berfikir mengangkat dengan menggunakan alat. Kreatifitas inilah yang menjadi keyakinan aliran ini. Hanya saja faham ini masih menyisakan pertanyaan, sejauh mana kebebasan yang dimiliki manusia? Siapa yang membatasi daya imajinasi manusia? Dimana batas akhir kreatifitas manusia?
Dilihat dari pendapat di atas, Qadariyah yang ada, lebih cenderung kepada pendapat yang mengatakan bahwa aliran Qadariyah disandarkan kepada orang-orang yang meyakini adanya sunnatullah sebagai alternative-alternatif pilihan yang diciptakan Tuhan dan manusia mempunyai kebebasan untuk memilih dan menentukan perbuatan tersebut.
Berbeda dengan apa yang penulis baca pada makalah Zainal Abidin Syamsuddin, Lc. Beliau mengutip Hadits dari Abdullah ibn Umar : Nabi SAW bersabda : Qadariyah adalah majusinya umat ini, jika mereka sakit janganlah kalian menjenguknya dan jika mereka mati janganlah kalian menyaksikan jenazahnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konsep Pemikiran Qadariyah tentang Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia
Tuhan adalah pencipta alternative atau pilihan takdir. Alternatif ketentuan Allah yang diciptakan bagi alam semesta beserta seluruh isinya sejak azali, yaitu hukum alam yang dalam istilah al-Qur’an disebut Sunnatullah.
Manusia menjadi penentu akhir perbuatan yang akan dilakukannya, karena memiliki kekuatan dan kemampuan untuk memilih yang baik atau yang buruk tanpa intervensi Tuhan.
Seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat. Dan seseorang akan diberi ganjaran siksa di neraka. Semua ini atas pilihan sadar manusia sendiri, bukan pilihan akhir Tuhan. Tidaklah pantas manusia menerima siksaan atas tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Siradjudin, I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1971.
Al-Mishri, Muhammad Abdul Hadi, Manhaj dan Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, Menurut Pemahaman Ulama Salaf, Jakarta: Gema Insani Press, 1992.
Mu’in, M. Taib Abdul, Ilmu Kalam, Jakarta: Widjaya, 1997.
Nasir, Sahilun A., Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: Rajawali Press, 1991.
Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 2002.
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, sejarah analisa perbandingan,
LINK :
http://www.ahmad-mubarok.blogspot.com/2008/09/ilmu-kalam.html
http://ibnuramadan.wordpress.com/category/qadariyah/
http://peziarah.wordpress.com/2007/03/07/jabariyah-dan-qadariyah/
http://artikelthoyib.blogspot.com/2010/01/qadariyah.html
Filed under: makalah | Leave a comment »